Mengejar Matahari di Puncak Gunung Batur



Saya harus memanfaatkan masa muda saya dengan baik. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah traveling. Kali ini saya akan bahas lebih lanjut mengenai pendakian di Gunung Batur, Kintamani, Bali dengan ketinggian 1.717 mdpl. Cukup unik angkanya kan ya, mungkin karena saya guru matematika….hahaha abaikan.

Saya bersama dengan teman-teman kuliah magister mempunyai rencana untuk menelusuri keindahan Pulau Bali sudah sejak lama. Namun karena kesibukan masing-masing yang ada malah selalu gagal. Kebetulan ada hari libur tanggal 2 Mei sebagai peringatan Hari Raya Waisak. Kami berencana mendaki Gunung Batur, dimana ini adalah pendakian saya pribadi untuk pertama kalinya.

Karena ini adalah yang pertama untuk saya, saya sudah membuat checklist apa saja yang harus dipersiapkan. Berikut persiapan saya untuk pendakian :

– Obat -obatan
– Syal
– Jaket
– Air minum
– Roti/Pop mie
– Coklat
– Kamera
– Jas hujan plastik

Oh ya, saya menggunakan carrier ARei 65L. Ini sangat membantu saya, meskipun beban cukup berat namun ketika dan setelah pendakian saya tidak mengalami sakit pundak atau punggung. Sebenarnya banyak juga yang membawa tas ransel biasa. Hanya saja, mendaki dengan membawa banyak beban akan lebih mudah bila memakai carrier/backpack.

Sebelum pendakian


Seringkali saya mendengar bahwa dengan mendaki gunung kita akan tahu pribadi sesorang dan “arti hidup” yang terselip selama pendakian. Ini sungguh membuat penasaran saya, disamping foto-foto indah yang bisa diambil selama perjalanan atau di puncak. Oleh karena itu dalam cerita saya kali ini, saya selipkan pula pelajaran-pelajaran hidup yang saya ambil dan refleksi mengenai pribadi saya.

Pukul 9 malam kami ber-6 bersiap-siap dari Denpasar. Kami menumpang mobil salah seorang teman dan berkendara dengan santai. Kami sampai di titik mulai pendakian Gunung Batur sekitar pukul 12 malam, sambil menunggu waktu mendaki kami istirahat sebentar, selfie (harus :D), dan membagi keperluan selama di atas ke dalam ransel masing-masing.

Jujur saja, saya dalam posisi sangat capek secara fisik dan sedang tidak enak badan. Namun saya tidak mengatakannya kepada teman-teman saya. Saya harus bisa mendaki, saya harus bisa melihat samudera awan di puncak, itu pemikiran saya. Oleh karena itu saya sudah siapkan diri dengan makan malam dan minum obat anti masuk angin sebelum mendaki.

Pendakian kami dimulai dengan doa bersama. Kami mulai mendaki sekitar pukul 2:30 dini hari. Kami juga menghaturkan canang yang sudah kami persiapkan di Pura yang ada di kaki gunung, sayang saya lupa namanya. Sambil menghaturkan canang, kami berhenti sebentar mengatur napas. Jantung saya sudah berdetak dengan kencangnya, selain karena ini pendakian pertama juga karena jarang olah raga. oh ya, tadinya saya pikir pada saat mendaki akan terasa dingin sehingga saya memakai baju 4 lapis termasuk jaket, syal dan juga sarung tangan. Tetapi selama pendakian saya merasa sangat panas, dan harus melepas jaket.

Saat mendaki di area hutan pinus berkali-kali kami tersesat. Sebenarnya sudah ada 2 orang teman yang sering mendaki Gunung Batur, tetapi karena rute berubah kami tersesat dengan rute yang salah selama 1 jam lamanya. Karena sedikit panik, saya jadi tidak konsentrasi dan ingin menyerah. Sudah ada pikiran untuk menyerah dan kata “tinggalkan aku disini” sudah ada di kerongkongan. Hanya saja tidak bisa keluar. Saya minta istirahat sebentar karena kehabisan napas dan kram di perut. Teman-teman saya membantu memegangi saya dan memberi air minum. Bahkan carrier saya sampai di bawa oleh salah satu teman saya. Mereka terus menyemangati saya untuk terus mendaki, tidak boleh menyerah, pasti bisa walaupun perlahan.

Pelajaran pertama : Saya sadar betul bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seringkali dalam kehidupan sehari-hari sangat jarang kita temui orang yang dengan ringan tangan membantu kita. Namun saat di posisi sulit, percayalah masih ada banyak orang yang ada di sekeliling kita mengulurkan tangannya atau sekedar berbisik untuk menguatkan kita.

Tidak terhitung berapa kali kita tersesat, tidak ada kompas, hanya menggunakan insting. Setelah berjalan beberapa menit ke atas, kami istirahat sebentar dengan terus mencari-cari jalan yang benar. Saat itulah saya meminta kembali carrier saya, saya merasa berterima kasih sekaligus bersalah kepada teman saya. Saya sudah cukup kuat untuk membawa carrier saya sendiri meskipun ada beberapa teman yang mau menukar carriersaya dengan ransel mereka yang lebih ringan. Tidak, saya tidak mau. Saya mau membawa beban saya sendiri.

Pelajaran kedua : Jujur ini adalah kepribadian saya. Betul, saya orang yang sensitif. Gampang merasa bersalah/ merasa tidak enak kepada orang yang telah saya repotkan meskipun mereka mungkin dengan senang hati melakukannya. Selain itu saya juga selalu bersyukur dan berterimakasih kepada mereka yang sudah bersedia membantu saya, sekecil apapun itu. Saya sadar dan saya berusaha dengan sangat keras terhadap apa yang menjadi tanggung jawab saya, sebisa mungkin semua saya kerjakan sendiri tanpa membuat orang lain repot.

Perjalanan saya selama di hutan vegetasi sampai di puncak menemui kesulitan karena saya pribadi tidak memegang senter. Saya hanya memakai senter HP yang ternyata baterainya drop. Saya mendaki dengan sedikit kesulitan, terkadang saya meminta teman yang ada di depan dan belakang saya untuk menyenter jalan yang ada di depan saya sehingga saya bisa melihat dengan jelas. Sebenarnya saya berusaha antisipasi masalah senter karena salah satu teman saya bilang bahwa dia mungkin saja punya senter lebih. Saya menggampangkan itu dan berpikir bahwa nantinya akan ada senter, kalaupun tidak bisa pakai senter HP. Namun kenyataannya mendaki gunung saat gelap sangat membutuhkan senter, senter pribadi yang dapat menyala dengan terang. Saat itu, sempat-sempatnya saya meikirkan lagu Flashlight-nya Jessie J :D:D:D.

Pelajaran ketiga : Dalam hidup, terkadang kita menggantungkan diri kepada bantuan orang lain. Ataupun bila sudah ada rencana/antisipasi yang lain terkadang resiko lain tidak kita pikirkan dengan matang. Mendaki di gunung tanpa senter pribadi sungguh sulit, karena harus berjalan dengan meraba-raba. Sama dengan hidup kita, bila kita mengandalkan orang lain dalam hal apapun ataupun tidak menyiapkan sesuatu dengan matang maka sungguh kita tidak tahu kemana harus melangkah. Kalaupun kita mencoba melangkah maka memerlukan waktu yang lebih lama daripada yang lain, karena kita berjalan dengan meraba-raba. Maka dari itu, persiapkanlah diri dengan sebaik mungkin menghadapi keadaan apapun. Pandangan hidup, prinsip, dan Tuhan akan membantumu melangkahkan kaki menuju ke tempat yang ingin kamu tuju.

Kami berhasil melewati hutan vegetasi dan menuju ke pendakian selanjutnya dengan kemiringan 45 derajat. Dengan sabar mereka mengarahkan posisi saya, batu mana yang harus dipijak. Berkali-kali saya berhenti, mereka menunggu dengan sabar. Seringkali mereka melontarkan kalimat lucu agar saya tersenyum. Tak jarang pula kalimat semangat selalu dilontarkan agar saya bisa terus mendaki sampai di puncak. Mereka menjaga saya betul, tidak pernah meninggalkan saya di belakang sekalipun. Saya selalu diberi tempat untuk jalan terlebih dahulu.

Sebagai matematikawan saya tahu betul kemiringan 45 derajat, namun saya tidak membayangkan bahwa saya harus mendaki dengan membungkuk dan sibuk mencari pijakan. “Bli, kakiku kehilangan tenaga.” Akhirnya kalimat keluhan saya yang pertama keluar. Teman-teman saya berhenti, dan kalau dipikir-pikir itu adalah istirahat terlama yang kami miliki, sekitar 5 menit. Teman-teman menyuruh untuk minum terlebih dahulu dan memberikan saya coklat yang hanya saya habiskan setengah. Tiada henti mereka menyemangati saya.

“Jangan bilang kakimu kehilangan tenaga, nanti beneran kehilangan tenaga”

“Ayo Odiy kamu pasti bisa”

“Terus Diy, ayo semangat”

“Sebentar lagi sampai, 15 menit lagi! Semangat!”

“Jangan lihat bawah, lihat depanmu sudah puncak Diy, sebentar lagi sampai”

“Puncak sebentar lagi Diy, ayo ambil foto yang banyak diatas. Pamerin ke temen-temen yang lain!”

“Semangat, nggak boleh nyerah Odiy”

“Kamu akan kehilangan momen bagus di puncak kalau berhenti lama disini”

“Minum dulu, pikirin kamu bakal sampai puncak nggak lama lagi”

“Coba kamu lihat belakangmu, bagus kan? Kalau kamu sampai ke puncak, akan ada view yang jauh lebih bagus dari ini”. Saat itu view di belakang saya adalah kerlip lampu rumah, danau batur dan gunung yang ada di belakang danau.

Mata saya sudah basah ingin menangis. Begitu baiknya mereka menyemangati saya. Jujur pendakian di area 45 derajat ini sulit. Lebih sulit dari mendaki di area hutan vegetasi. Selain karena kemiringannya, jalannya sempit dan berbatu terjal sekali. Terkadang saya tidak tahu jalan mana yang harus saya ambil untuk pijakan kaki. Mereka dengan sabar berganti-gantian membantu saya. Secara bergantian mereka menjadi pemandu saya di depan dan mengulurkan tangannya ketika harus menaiki batu yang tinggi. Satu lagi teman yang ada di belakang saya bertugas untuk mendorong, dan siaga ketika saya jatuh ke belakang. Tidak jarang saya terpeleset dan hampir saja jatuh ke belakang. Sudah tak terhitung lagi banyaknya kata-kata semangat maupun lelucon dari mereka untuk mengalihkan pikiran saya dari kata menyerah.

Pelajaran keempat : Mimpi saya adalah melihat pemandangan dari puncak. Siapa sangka akan sesulit ini memandang sesuatu dari puncak? Ketakutan seringkali muncul, hingga akhirnya terlontar keluhan saya pertama kalinya. Saya merasa sudah hampir mati. Mungkin karena itulah teman-teman saya tidak berhenti menyemangati saya. Saya pribadi punya mimpi, menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Saya berburu beasiswa magister di Belanda, Inggris, Autralia, Jepang, dan Korea Selatan. Ditolak? Sudah tak terhitung berapa kali. hingga saya kebal dan tidak menangis lagi ketika membaca kata failed, not accepted, atau kata lainnya. Saya terus berusaha mewujudkan mimpi saya meskipun saat ini saya belum berhasil menempuh pendidikan dengan beasiswa di luar negeri. 

Seringkali saya bertanya apa kekurangan saya, apa kebodohan saya hingga tidak bisa mendapatkan beasiswa. Padahal saya sudah mendapatkan surat penerimaan dari perguruan tinggi yang saya tuju. Parahnya lagi saat ini saya menempuh pendidikan magister di Indonesia, dan membayar sendiri. Sungguh saya masih mempertanyakan ketidak adilan ini. Namun, kini saya melihat dari sudut pandang lain. Mimpi melihat puncak akan tetap jadi mimpi bila saya menyerah saat berada di area kemiringan 45 derajat. Saat ini saya merasa sangat bersyukur saya bersekolah dengan uang saya sendiri. Betapa mandirinya saya dengan segala kesulitan yang tidak saya ungkapkan kepada orang tua. Dan lagi, saya bertemu teman-teman baru yang menyemangati saya yang mungkin saja tidak saya temui bila saya bersekolah di tempat lain.Saya tidak dalam keadaan menyerah untuk segera menyelesaikan pendidikan magister saya. Masih ada banyak kesempatan untuk menjajal beasiswa tingkat doktor nantinya. Kata-kata semangat dari teman-teman memberikan efek pada kekuatan pikiran saya. Oleh karena itu, pemikiran=pemikiran negatif yang mengganjal harussegera saya singkirkan. Saya harus bisa menjadi seorang profesor!

Saat pendakian, beberapa kali tim kamu harus menepi untuk mempersilahkan rombongan yang ada di belakang kami untuk mendahului. Selain itu hal penting lainnya adalah saling menjaga jarak satu sama lainnya. Sehingga kami agak sedikit menunggu sampai mereka ada di jarak yang cukup jauh. Tak lupa saya mencari pijakan yang kuat dan tempat yang datar agar bisa berdiri dengan tegak. Dari sini saya juga menemukan pelajaran yang kelima : Saat berusaha mencapai apa yang kita inginkan terkadang kita harus rela. Rela untuk didahului oleh yang lain. Rela untuk menunggu giliran untuk mulai lagi. Seringkali saya berpikir, kenapa dia/mereka bisa lebih dulu/beruntung dari saya? Kenapa mereka bisa sampai lebih dulu padahal saya berangkat lebih awal? Kenapa saya tidak, padahal saya juga sudah berusaha dengan keras. Satu yang pasti, kata menunggu adalah hal yang saya tidak suka meskipun saya percaya semua akan indah pada waktunya. Padahal indah pada waktunya juga memerlukan proses menunggu. Menunggu bukan berarti gagal, tidak beruntung, kalah namun memang belum saatnya untuk saya.

Saya kerahkan segala kekuatan yang ada dalam diri saya dan berhasil mencapai puncak. Kami harus berkejar-kejaran dengan waktu supaya kami bisa sampai di pucak lebih dulu daripada matahari. Jam menunjukkan pukul 5 pagi ketika kami menginjakkan kaki di puncak. Ketika kami mencapai puncak, pemandangan bulan yang bersinar utuh di balik kawah adalah hadiah terindah dari alam. Saya mencoba mengabadikannya dengan kamera, namun karena masih gelap kamera saya tidak dapat membidik dengan baik. Rasa lelah saya terbayar sudah dengan pemandangan indah diatas pucak. Dengan mata kepala saya sendiri saya menyaksikan terbitnya matahari dan hamparan samudera awan. Kata teman saya, terkadang kita tidak beruntung melihat samudera awan ketika sampai di puncak. Suhu di puncak sekitar 15 derajat Celcius. Kabut pun tidak hilang sampai menjelang siang yang membuat basah daun di pohon. Sesekali angin bertiup kencang, membuat saya menyilangkan tangan untuk menghalau dingin.

Berikut beberapa foto samudera awan hasil bidikan saya :




Terbitnya sang Matahari :







Sabana
Geng 15 menit (LOL :D)
Nama ini tercetus karena setiap kali kelelahan selalu terdengar kata 15 menit lagi sampai

Jalan sempit menuju puncak





Sambil beristirahat kami mengeluarkan perbekalan. Salah seorang teman saya membawa parafin sehingga kami bisa memasak air untuk menyeduh mie instan dan susu. Tidak lupa kamipun membawa turun semua sampah, tidak terlewat satupun.


Mengobati dingin

Kira-kira pada pukul 8 kami sudah bersiap-siap turun. Salah seorang teman saya memberitahu beberapa trik memijakkan kaki saat turun. Rute turun kali ini berbeda dengan rute yang kami naiki. Di pikiran saya, turun akan jauh lebih mudah dari naik. tetapi tidak saya bayangkan sakitnya kaki saat menopang tubuh agar tidak jatuh saat menuruni medan yang berpasir. Saya sempat terjatuh saat turun di area berpasir. Ada beberapa orang yang mendaki dengan rute berpasir ini, bagi saya jauh lebih baik mendaki di area berbatu seperti yang sudah kami lakukan. Mendaki di rute berpasir sangat berat untuk saya. Naik 3 langkah bisa turun juga tiga langkah.



Saat perjalanan turun, kami sempatkan mampir di area datar dimana kami bisa melihat kawah. Meskipun kawah tidak berisi apapun namun tetap menarik untuk dilihat. Selain itu terdapat pula tugu Gunung Batur serta beberapa ekor monyet di sana.




Dalam perjalanan pulang kali ini saya sudah tersenyum dengan lebar. Beberapa teman saya berceletuk :” Wah Odiy udah bisa senyum-senyum dia”, “Kemarin aku berat banget bawain carrier kamu”, ” Susah sekali ngarahin jalan yang gampang buat kamu, semuanya sulit jadi aku bilang aja terserah kamu mau pilih yang mana” dan lain sebagainya. Dari situ saya tahu bahwa sebenarnya mereka juga sulit untuk membantu saya namun tetap dilakukan. Oleh karena itu tak henti-hentinya saya mengucapkan terimakasih.

Setelah berjalan agak jauh saya menemukan pemandangan yang bagus sekali. Perpaduan danau batur dan gunung yang menjulang berpayung awan.




Kami memakan waktu kira-kira 2 jam, kami juga sempat tersesat namun berhasil menemukan jalan sampai di start point kami. Meskipun tersesat berkali-kali tidak ada seorang pun atau sekalipun menyalahkan leader yang ada di depan.

Seperti rencana awal sesudah mendaki kami pergi ke Batur Natural Hot Spring. Sayang, saya tidak bisa mengambil gambar karena takut kamera saya basah. Sebenarnya salah seorang teman saya membawa go pro. Namun karena memori sudah habis kami tidak mengambil banyak gambar.

Sekedar berbagi, tarif masuk untuk dewasa adalah 60ribu rupiah. Mereka memberikan sabun, shampoo dan juga handuk. Hanya saja untuk handuk, harus membayar 20ribu untuk deposit yang nanti akan dikembalikan ketika mengembalikan handuk. Tidak usah khawatir dimana harus menyimpan tas ketika ditinggal berenang/mandi, mereka juga menyediakan locker dan tidak dikenakan biaya tambahan. Area pemandian ini mempunyai beberapa kolam. Ada kolam pemandian yang terletak di atas dan di bawah. Kolam untuk anak-anakpun juga tersedia. Untuk kolam pemandian yang ada di bawah bersebelahan langsung dengan Danau Batur, sehingga viewnya lebih cantik. Air di kolam pun cukup hangat, pas sekali untuk merelaksasikan diri setelah mendaki. Fasilitas gratis lainnya adalah segelas jus semangka yang bisa diminum saat bersantai di pinggir kolam. Lebih detail mengenai Batur Natural Hot Spring bisa diklik disini.

Akhirnya, perjalanan ini ditutup dengan sejuta kenangan yang tidak bisa dilupakan. Namun satu yang pasti, No Gain Without Pain. Tidak ada sesuatu yang mudah dicapai, dan yang paling penting adalah tidak ada kata menyerah untuk menggapai mimpi. Tidak pernah menyerah sebelum mimpi itu terwujud. Saya bukanlah seorang pendaki gunung, saya hanya menyukai petualangan. Dengan menjelajahi alam, akan menuai banyak pelajaran untuk memperkaya kehidupan saya sendiri. Selagi masih muda dan kaki masih bisa dibawa melangkah kemanapun, kenapa tidak?

Mungkin bagi para pendaki 1,717 mdpl adalah gunung yang rendah. Tapi bagi saya ini adalah rekor pertama dalam kehidupan saya mendaki gunung dengan susah payah dan mau berusaha sekuat tenaga untuk mencapai puncak meskipun tidak lepas dari bantuan teman-teman saya. Setidaknya ada yang bisa diceritakan kepada anak-cucu saya nantinya, bahwa saya mempunyai masa muda yang hebat :D!

0 komentar:

Post a Comment